Makna Perayaan HAri Suci Siwaratri yang jatuh pada purwaning tilem sasih kapitu

Denpasar- ilmuagama,  Siwaratri merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu. Dimana Siwaratri jatuh setiap setahun sekali dihitung  berdasarkan kalender Isaka yaitu pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ke tujuh) dalam perhitungan kalender bali sebelum bulan mati (Tilem), dalam kalender Masehi jatuh setiap bulan Januari.

Sehari sebelum Tilem Kepitu biasanya dikenal sebagai malam Siwaratri, dimana umat hindu akan mengadakan persembahyangan dan perenungan dosa.

Siwaratri berasal dari kata Siwa dan Ratri yang dalam bahasa Sansekerta, kata Siwa memiliki makna baik hati, memaafkan, membahagiakan, Siwa juga merupakan manifestasi Tuhan sebagai pelebur atau prelina.

Sedangkan kata Ratri memiliki makna kegelapan sehingga Siwaratri bisa diartikan sebagai peleburan kegelapan menuju jalan terang. Dalam menjalankan Siwaratri, setidaknya ada 3 brata yang dilaksanakan yakni:

UPAWASA, yang dalam bahasa Sanseketa mempunyai arti puasa tidak makan dan tidak minum, tujuannya untuk lebih fokus menerima energy suci dari Tuhan.

MONA atau MOUNA, yang mempunyai arti tidak mengucapkan kata-kata atau berbicara, tujuannya agar mudah terhubung dengan keheningan didalam hati kita.

JAGRA atau TAN MRENA, yang memiliki arti tidak tidur, tetap terjaga atau begadang, tujuannya agar fokus pada rasa bakti yang mendalam kepada Dewa Siwa.

Tingkatan Brata Siwaratri ada 3 (tiga), yaitu :
UTAMA: Terdiri dari Upawasa, Mona dan Jagra
MADYA: terdiri dari Mona dan Jagra atau Upawasa dan Jagra.
NISTA: terdiri dari Jagra.

Dirangkum dari berbagai sumber, ketiga brata itu biasanya dilaksakan selama 24 jam atau dilakukan sejak matahari terbit hingga keesokan harinya saat matahari terbit kembali.

Adapun tingkatan Jagra pada Brata Siwaratri terdiri dari :
UTAMA: Mulai dari saat matahari terbit sampai esok harinya saat matahari terbit juga (selama 24 jam)
MADYA: Mulai tengah hari sampai esok hari saat matahari terbit (selama 18 jam)
NISTA: Mulai sore hari saat matahari terbenam sampai esok hari saat matahari terbit (selama 12 jam).

Selama waktu pelaksanaan Brata Siwaratri kita sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut, seperti:

Fokus pada rasa bakti yang mendalam terhadap Dewa Siwa seperti sebanyak mungkin melakukan penjapaan mantra Dewa Siwa (Om Namah Shiwaya), diucapkan dalam hati dan bisa juga melakukan meditasi, atau bisa juga dengan melakukan pelayanan dan melakukan kebaikan terhadap mahluk hidup lainnya.

Fokus pada ajaran suci dharma seperti, membaca buku suci, mendengarkan dharma wacana, dan sebagainya.

Menahan diri dari perbuatan yang melanggar dharma, seperti tidak mencuri, menipu dan jangan menyakiti orang lain.

Menahan diri dari semua perkataan yang melanggar dharma, seperti tidak marah, tidak memaki, tidak menghina dan tidak menjelekkan orang lain.

Dalam pelaksanaannya, umat hendaknya melaksakan Brata Siwaratri sesuai dengan kemampuan, kondisi dan situasi serta tidak ada unsur paksaan.

 

MUTIARA WEDA : Rahasia Cinta
Vyatisajati padārthānāntaram ko’pi, Heturna khalu bahirupādhin pritayahsamsrayante.
(Uttararamacharitam, 6.12)

Ada alasan tertentu di balik kebersamaan dua orang, bahkan cinta terbebas dari faktor eksternal

ORANG-ORANG bisa ketemu dengan siapa pun, bisa bersama dengan siapa pun, tetapi hubungan cinta di antara orang dengan yang lainnya adalah sesuatu yang berbeda. Faktor eksternal hanyalah instrumen, sementara hubungan yang sejati terbebas dari itu. Seperti misalnya, ada dua anak muda laki dan wanita sudah sejak lama berteman, selalu bersama ketika pergi ke sekolah, membuat tugas bahkan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Ada suatu ketika yang laki di suatu tempat bertemu dengan wanita lain. Dia merasa sesuatu yang berbeda. Dadanya tiba-tiba berdesir merasakan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan aneh yang masuk. Ada semacam ketertarikan yang tidak bisa dideskripsikan. Perhatiannya hanya ada pada wanita tersebut. Rasa itu belum pernah datang sebelumnya, tidak pula pada teman wanitanya itu sejak awal. Teman wanitanya tetap seperti teman biasa, tetapi wanita yang baru ditemuinya itu terasa berbeda.

Apa alasan di balik itu? Teks di atas menyebut bahwa cinta itu terbebas dari faktor eksternal. Apa maksudnya faktor eksternal? Seperti kekayaan, kecantikan, kegantengan, ras, kasta, dan yang sejenisnya. Cinta itu terbebas dari faktor eksternal, artinya semua yang disebutkan itu tidak ada hubungannya. Cinta bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Tapi, kan banyak orang mencintai lawan jenisnya oleh karena status, kekayaan, dan yang sejenisnya? Atau ada orang mengatakan ‘yang penting menyatu dulu, masalah cinta akan tumbuh bersama waktu’.

Memang benar banyak pula orang yang awalnya menjatuhkan pilihan cintanya oleh karena kekayaan atau status sosial, tetapi seiring waktu cinta yang sejati bisa tumbuh. Orang yang mencari pasangan, secara umum, telah membawa kriterianya. Orang yang berpendidikan biasanya penuh kriteria sehingga agak selektif. Mungkin tidak hanya kekayaan atau status yang menjadi kriteria, tetapi juga masalah kecocokan, apakah kecocokan dalam hal komunikasi, umur, jenis pekerjaan, dan yang lainnya.

Jika mencari pasangan penuh dengan kriteria, lalu bagaimana dengan pernyataan di atas? Boleh saja orang dengan berbagai kriteria, tetapi ketika cinta tidak masuk, setepat apapun kriteria tersebut ditemukan, mereka tidak akan bersama. Tetap, cinta adalah sesuatu yang misterius. Semua kriteria adalah sekadar alat agar cinta itu bisa direkatkan. Banyak yang menemukan orang lain sesuai kriterianya, tetapi ketika mereka mencoba jalan bersama, rasa yang mereka rasakan hambar, tidak melekat. Karena kriteria sesuai, mereka mencoba tetap berjalan, bahkan ada yang sampai ke jenjang pernikahan. Banyak dari mereka pada akhirnya berpisah. Masih mendingan mereka pisah sebelum hubungannya disahkan, tetapi tidak sedikit yang memaksakan untuk menikah, dan dalam beberapa tahun akhirnya juga pisah.

Sehingga dengan demikian, meskipun semua kriteria itu cocok, menemukan rasa di dalamnya juga sangat penting. Ada juga orang menemukan cintanya kepada dia yang di luar kriterianya. Seberapapun berbedanya, tetapi karena disatukan oleh cinta, perbedaan mereka bisa dijembatani, dan yang menjembatani semua perbedaan itu hanyalah cinta. Dan karena cinta itu sedemikian kuat, perbedaan itu tidak membuat banyak masalah, justru mereka bisa berbagi dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya.

Memang tidak gampang menyatukan hal yang sangat berbeda, tetapi oleh karena cinta itu sangat kuat, perbedaan itu justru saling menguatkan. Mereka sama-sama siap dengan kekurangan masing-masing dan mau menutupi dengan kelebihannya. Memang yang ideal adalah antara kriteria dan cinta nyambung sehingga dalam segala hal bisa dimudahkan. Tetapi, jika harus memilih salah satu, sesuai dengan teks di atas, maka cinta harus menjadi pilihannya. Kriteria hanya alat bantu, sementara hal yang utama dalam sebuah hubungan adalah cinta. Cinta selamanya datang tiba-tiba meskipun kita memulainya secara bertahap. Kriteria yang dibuat hanyalah media, alat bantu agar cinta itu hadir. Apakah cinta pernah memudar? Cinta yang memudar bukanlah cinta, tetapi sekadar keinginan. Cinta itu semesta. Menemukan cinta sejati sesungguhnya awalan dari kontak dengan semesta. Ketika ini dicapai, maka inilah penyatuan sejati. Inilah yang hendak disampaikan mengapa cinta itu bebas dari faktor eksternal. *


 I Gede Suwantana (sumber : https://www.nusabali.com/)
MUTIARA WEDA: Pedagang Takut Pesaing

Tat-pratisthetyu-pāsita, pratisthāvān bhavati, tanmana ityupāsita mānavān bhavati, Tad-brahmanah parimara ityupāsita, paryenam mriyante, dvisantah sapatnāh, Pari ye’priyāh bhrātrvyāh (Taittiriya Upanisad, III-x-4)

Ilustrasi pedagang(freepik.com/pikisuperstar)

Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai pelindung, dia akan menjadi pelindung yang baik. Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai pikiran, dia akan menjadi pemikir yang baik. Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai aspek penghancur, semua musuh yang membenci dan rival yang tidak suka padanya, akan tewas di sekelilingnya.

Pernyataan ‘as you think so you become’ ternyata telah ditulis oleh para pendahulu kita ribuan tahun yang lalu. Orang yang tekun belajar matematika, dia akan menjadi matematikawan, dia yang tekun belajar menyanyi, dia akan menjadi penyanyi yang baik, dia yang selalu bergaul dengan pemabuk, dia juga akan menjadi pemabuk. Demikian seterusnya. Apapun yang digeluti dan dipikirkan orang setiap saat, dia akan menjadi seperti apa yang dia geluti dan pikirkan itu. Teks menyebut ini sebagai bhava, artinya pergumulan sehari-hari yang kita lakukan akan hidup dan menjadi karakter, temperamen, dan kelakuan kita. Apa yang menjadi fokus kita menurut teks adalah sebuah sadhana, sehingga ia tumbuh menjadi sebuah kekuatan.

Namun banyak orang menyangsikan pernyataan teks di atas. “Saya sudah bertahun-tahun berpikir agar kaya, lalu kenapa tetap miskin?” begitu bantahannya. Teks di atas dengan tegas menyatakan ‘as you think so you become’ adalah sadhana. Sadhana artinya upaya. Jika orang hanya ‘berpikir kaya’, tetapi tidak dijadikan sebagai sadhana, tidak ada upaya yang mengikutinya, maka ‘berpikir kaya’ itu tidak akan menjadi bhava, tidak hidup. Bagaimana mungkin orang setiap saat memikirkan tentang tajen, sementara dia tidak penah pergi ke tajen dan tidak pernah pula berhubungan dengan bebotoh, akan bisa menjadi bebotoh? ‘As you think’ artinya bukan sekadar angan-angan, tetapi bagaimana angan-angan itu memanfaatkan segenap upaya dan daya yang ada.

Kasus seperti ini kadang sulit dipahami, sebab sering orang tidak mau susah. Dia ingin hasil tetapi tidak mau bekerja.DiIa ingin hebat tetapi tidak mau belajar dan berusaha maksimal. Namun, kasus ini masih linier, masih mudah diketemukan benang merahnya. Yang susah adalah ketika kasus itu zig-zag atau tidak linier. Maksudnya begini: Jika orang ingin menjadi bebotoh sejati dan kemudian dia pergi setiap saat ke tajen, memelihara ayam aduan, selalu berdiskusi dengan para bebotoh lain, dan kemudian dia benar menjadi bebotoh sejati, maka ini adalah linier. Apa yang diinginkan lanjut dikerjakan, kemudian dia menjadi seperti yang diinginkannya, ini linier. Berbeda halnya jika ada orang yang ingin melestarikan sebuah patung sakral warisan nenek moyangnya, kemudian dia menghancurkan patung-patung lain yang dianggap mengganggu kesakralannya, inilah yang tidak linier.

Ketidaklinierannya terlihat pada pikirannya ingin melestarikan, tetapi sadhana atau upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan menghancurkan jenis lainnya. Teks di atas ketika menyebut ‘ia yang bermeditasi pada-Nya sebagai aspek penghancur, maka semua musuhnya akan binasa’ ini pun sangat linier. Sangat gampang dikenali, karena pikiran dan tindakannya satu jalur. Bagaimana jika pikiran dan tindakannya bertentangan? Pikirannya ingin melestarikan, tetapi tindakannya menghancurkan. Bagaimana itu? Mari kita analisa berdasarkan alur pikir teks di atas.

Pertama, yang menyebabkan bhava itu terjadi atau hidup menurut teks di atas adalah sadhananya. Artinya, tindakan itulah yang hidup, karena tindakan berdampak langsung. Kedua, tindakan menghancurkan tidak akan mungkin terjadi tanpa diawali oleh pemikiran, sebab tindakan hanyalah konsekuensi dari pemikiran. Sehingga dengan demikian, keinginan untuk melestarikan hanyalah dalih atas pikirannya yang memang memiliki niat menghancurkan. Ketiga, kalaupun dia memang benar memiliki keinginan untuk melestarikan, kemudian dia melakukan penghancuran, dan itu saja satu-satunya jalan yang dia ketahui, maka dipastikan orang ini tidak pernah belajar atau diselimuti oleh kebodohan atau kegelapan. Menyerang dan menghancurkan adalah bentuk kelemahan mental. Sama seperti pedagang takut bersaing, agar dagangannya tetap laku, upaya satu-satunya yang dia lakukan adalah melenyapkan semua pesaingnya. Dia tidak berupaya meningkatkan kualitas dagangannya. Akhirnya apa? Semua tewas di sekelilingnya.


 I Gede Suwantana (sumber : https://www.nusabali.com/)
MUTIARA WEDA: Yoga di Hari Nyepi

MUTIARA WEDA: “Yoga di Hari Nyepi”
“shauchasantoshatapahsvadhyayeshvarapranidhanani
niyamah”

Kesucian, kepenuhan, hidup sederhana, belajar tentang diri dan berserah kehadapan Tuhan adalah niyama

Secara esensi perayaan Nyepi dengan Catur Brata Penyepiannya sesungguhnya mengajak masyarakat untuk beryoga. Amati Karya, amati gni, amati lelungan, dan amati lelanguan, disamping memiliki arti tekstual juga mengandung makna meta-tekstual. Secara tekstual amati karya berarti menghentikan sementara segala bentuk pekerjaan, amati gni artinya tidak menyalakan api, amati lelungan berarti tidak bepergian, dan amati lelanguan berarti pantang menikmati segala jenis kenikmatan inderawi. Sementara meta-tekstual merupakan makna yang sebenarnya dari perayaan Nyepi, yakni, amati karya, artinya menyelaraskan diri dengan prinsip kerja semesta sehingga tampak tidak ada aktifitas bagi sang ego; amati gni berarti mengamati secara seksama segala bentuk yang mampu membakar yang muncul dari dalam diri seperti kemarahan, keserakahan dan yang sejenisnya; amati lelungan artinya tidak lagi menyia-nyiakan waktu dengan pergi kesana kemari tidak jelas, melainkan mesti fokus pada Sang Diri yang ada di dalam; dan amati lelanguan artinya tidak larut dan terjebak di dalam kenikmatan duniawi, melainkan fokus pada kebahagiaan sejati yang ada di dalam.

Makna meta-tekstual inilah Yoga, dan perayaan Nyepi merupakan sebuah momentum untuk mengingatkan kembali pada diri tentang seberapa besar intensitas kita melaksanakan semua itu. Perayaan Hari Raya Nyepi tidak ubahnya seperti jadwal evaluasi diri, memberikan nilai sampai tahap mana perkembangan diri kita selama ini, menilai berapa persen peningkatan yang terjadi dari perayaan sebelumnya. Jika makna ini diikuti, tentu Nyepi adalah Yoga itu sendiri atau menjadikan prinsip-prinsip Nyepi bisa dipraktikkan dalam keseharian. Lalu, ketika ada wacana pada saat Hari Raya Nyepi mesti melaksanakan Yoga, itu mengindikasikan bahwa masyarakat merayakan hari Raya Nyepi tidak sebagai momentum evaluasi diri, melainkan sebuah perayaan yang menghadirkan pesta-pesta. Artinya, masyarakat lebih memilih pesta ketimbang mengevaluasi dirinya. Justru ketika momentum evaluasi diri itu datang mereka melupakannya dan larut dalam pesta.

Jika ini yang terjadi, tentu sebagai konsekuensinya adalah hadirnya banyak sampah. Oleh karena sebuah pesta, tentu di dalamnya ada sebuah jamuan atau hidangan, dan setelah itu yang banyak tersisa adalah sampah. Demikian juga oleh karena tidak melakukan aktivitas di luar rumah, dan untuk mengisi waktu kosong di rumah, kita lalu menyibukkan diri di sosmed. Kita meng-upload berbagai foto dan tulisan yang sebenarnya tidak terlalu urgent untuk diketahui khalayak. Terkadang, oleh karena terlalu banyaknya beraktifitas di sosmed, orang kemudian menilai bahwa apa yang diunggah di sosmed itu tidak berbeda dengan sampah, dan mereka mulai terganggu. Perilaku kita kemudian menghasilkan banyak sampah, tidak hanya sampah dunia nyata, tetapi juga sampah dunia maya. Perayaan Nyepi kemudian dijadikan arena untuk menghasilkan sampah-sampah tersebut.

Pada hakikatnya baik sampah nyata maupun sampah dunia maya sesungguhnya bersumber dari satu, yakni sampah pikiran. Orang yang pikirannya penuh sampah akan susah diajak hidup bersih. Orang yang tidak bisa hidup bersih tidak akan mungkin melakukan yoga, sebab salah satu kriteria dari orang yang tekun di dalam Yoga adalah saucam, yakni kebersihan baik fisik maupun mental. Maka dari itu, benang kusut yang hampir tidak pernah selesai mengenai permasalahan sampah terjadi oleh karena solusi yang ditawarkan tidak langsung ke akar. Jika ada sampah, orang diajak membersihkannya saja, tetapi masyarakat tidak pernah diajak menyadari betapa hidup bersih itu penting. Hasilnya, lingkungan bisa bersih hanya sementara, sebab segera setelah itu masyarakat akan kembali mengotorinya.

Apalagi sampah dihasilkan pada saat rangkaian Hari Raya Nyepi yang notabene bersumber dari bekas upakara. Masyarakat semestinya pada momen ini benar-benar diajak beryoga sehingga kesadarannya meluas. Semakin luas kesadaran seseorang, semakin sensitive kehidupannya. Orang yang sensitive akan selalu mengutamakan kebersihan, sebab, buah dari kesadaran adalah kehidupan yang murni/ bersih lahir dan bhatin. Mengapa yoga? Sebab yoga adalah salah satu teknik yang langsung bekerjanya pada ranah mental dan tentunya berpengaruh langsung pada kesadaran.

Masalahnya, bagaimana caranya meyogakan masyarakat pada Hari Raya Nyepi?

Ini permasalahan yang tidak gampang. Rasanya mustahil mengajak orang untuk melaksanakan Yoga jika mereka yang sama sekali tidak pernah mengenal Yoga. Tidak mungkin rasanya secara tiba-tiba mengajak orang yang tidak pernah berpikir tentang ketenangan pikiran lalu diajak menenangkan pikirannya dengan cara meditasi atau teknik yoga lainnya. Oleh karena itu, gerakan hidup bersih mesti harus terus-menerus digaungkan dan bersamaan dengan itu Yoga harus dikenalkan kepada masyarakat secara luas. Dari kedua metode ini tentu diharapkan nantinya bisa bertemu di tengah-tengah, sebab menumbuhkan kesadaran itu muncul dari dalam dan membiasakan hidup bersih itu muncul dari luar. Dengan ini, orang kemudian sadar hidup bersih, bukan dipaksa hidup bersih.

Saat ini pemerintah dan beberapa masyarakat yang sadar telah berupaya untuk menemukan solusi yang jitu bagaimana caranya mengatasi sampah upakara yang terus-menerus disorot belakangan ini. Beberapa solusi telah diberikan dengan cara seperti menyediakan tong sampah di areal Pura, ngayah mabersih, dan yang lainnya. Hal itu tentu berdampak positif tampak saat semakin banyaknya orang mulai bisa diketuk hatinya untuk melakukan hal yang sama. Hanya saja, solusi tersebut baru menyasar pada sampahnya. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, kesadaran masyarakat sangat penting untuk dibangun. Mengajak masyarakat untuk melihat kebiasaannya tersebut sangat urgent dan kemudian mengubahnya ke arah yang lain. Yoga tentu mampu memberikan banyak andil untuk ini.

I Gede Suwantana (sumber : https://www.nusabali.com/)
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
MUTIARA WEDA: Metaverse, Mungkinkah?

Yadrcchayā copapannam svarga-dvāram apāvrtam, sukhinah ksatriyāh pārtha labhante yuddham idrsam.

(Bhagavad-gita, II.32)

Wahai Partha, berbahagialah para ksatriya yang mendapatkan kesempatan untuk bertempur seperti itu tanpa mencarinya, kesempatan yang membuka pintu gerbang surga bagi mereka.

NARASI tentang metaverse mulai dibangun terutama di kalangan para pemegang modal (capital maupun saintek). Dikatakan bahwa ada sebuah wilayah di dunia ‘maya’, di mana di tempat tersebut dapat melakukan kegiatan apa saja tanpa batas. Orang bisa melakukan bisnis, menikmati berbagai kesenangan, membangun rumah, dan apapun jenis kegiatan lainnya. Dunia ini terbangun sebagai kelanjutan dari berkembangnya internet yang masif. Jadi, hanya dengan masuk ke dalam jaringan melalui sebuah alat tertentu, orang bisa berselancar di dunia tersebut seolah-olah nyata adanya. Bisa jadi, ini merupakan perpanjangan dari harapan-harapan atau keinginan-keinginan manusia yang tidak pernah sampai. Dunia ‘maya’ ini bisa dijadikan alternatif atas harapan kenikmatan yang hendak diraihnya, hal yang belum sempat ditemukannya di dunia ini.

Jika merujuk berbagai teks Hindu baik yang disebutkan di dalam Sruti, purana maupun teks-teks nusantara lainnya, tentu narasi tentang dunia yang mampu memberikan berbagai kenikmatan tanpa batas sangat masif disebutkan. Tempat itu disebut svarga atau surga. Tidak kah metaverse adalah sejenis grosifikasi dari alam svarga tersebut? Teks menyebutkan bahwa tempat tersebut sangat indah, mampu memuaskan segala bentuk keinginan dengan menyajikan berbagai jenis objek kenikmatan. Pintu sorga ini akan terbuka bagi mereka yang memenuhi syarat. Syaratnya adalah dia yang telah memiliki karma baik yang cukup, yang telah melakukan hal-hal baik sesuai dengan svadharmanya. Seperti teks di atas nyatakan bahwa mereka yang mati di medan perang akan langsung masuk surga karena telah menjalankan svadharmanya dengan baik.

Secara prinsip, baik konsep svarga maupun wacana metaverse sesungguhnya bersumber dari metanarasi yang sama, yakni sebuah harapan untuk meraih sebanyak-banyaknya hal yang menyenangkan. Oleh karena dunia ini senantiasa menyajikan dualitas, yakni susah dan senang silih berganti, dan bahkan susahnya dirasakan lebih banyak, sehingga keinginan untuk melepaskan diri dari kesusahan itu menjadi sesuatu hal yang paling mendasar. Ingin terbebas dari kesusahan dan memasuki kenikmatan itulah sejak awal melahirkan konsep surga. Upanisad menyebut bahwa alam yang disebut surga itu adalah imajinasi manusia atas ketidakmampuannya melawan kesusahan. Oleh karena yang dirasakan lebih banyak kesusahan, maka pikiran mencoba melakukan perlawanan dan kemudian menciptakan sebuah dunia di mana kesusahan tidak memiliki tempat. Mereka ingin suatu saat akan memasuki tempat seperti ini. Akhirnya, oleh karena ide surga ini, saat menjalani kehidupannya, mereka lebih mampu menerima dengan sadar berbagai keburukan dan kesusahan yang dialami dengan harapan dia akan masuk surga nantinya.

Tidak kah ide metaverse tersebut sejenis itu? Oleh karena dunia ini menyediakan hal-hal yang terbatas atas keinginannya yang tanpa batas, maka mereka menciptakan sebuah ruang, di mana ruang itu mampu memfasilitasi berbagai keinginannya untuk lebih leluasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Di dunia baru ini dia memiliki kesempatan untuk melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan di dunia sekarang. Tidak kah dengan begitu, orang akan mendapat kebahagiaan atas semua itu? Mereka akan bisa tetap bersenang-senang, menikmati berbagai objek kenikmatan yang tidak mudah ditemukan di dunia ini. Bedanya, piranti yang digunakan untuk memasuki pintu gerbang surga adalah karma baik, sementara pintu gerbang tempat masuknya metaverse adalah jaringan internet dan mesin tertentu.

Namun, berbagai teks upanisad dan yang lainnya mengingatkan, bahwa apapun dunia yang bisa dimasuki dan berbagai kenikmatan apapun yang tersedia di sana, jenis kenikmatan itu akan bisa berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Orang memiliki piranti unik yang hadir di dalam pikirannya, yakni rasa bosan. Rasa bosan atas berbagai objek kenikmatan juga akan melahirkan dukkha. Oleh karena itu, sejak awal harus disadari bahwa surga atau metaverse atau apapun dunia yang nantinya mudah diakses tidak mampu memberikan kebahagiaan abadi. Atas dasar itu, disarankan untuk tidak terjebak dan tenggelam di dalamnya, walaupun kita tetap berada dan berperan aktif di sana. *

I Gede Suwantana (sumber : https://www.nusabali.com/)